Himbauan untuk tetap di rumah sudah dimulai sejak bulan Maret, tepat setelah aku baru saja menyelesaikan Penilaian Tengah Semester (PTS) 2. Wah rasanya senang sekali. Bagaimana tidak, penat akan kesibukan sekolah akan terbayarkan dengan libur panjang. Seketika akupun membayangkan akupunya banyak waktu di rumah, tidak perlu berangkat pagi untuk ke sekolah dan pulang sore setelah KBM yang melelahkan.Untuk seorang kaum rebahan sepertiku,tentu merupakan kabar yang membahagiakan. Satu minggu pertama di rumah terasa mengasyikkan, aku bisa bermain ponsel, rebahan, dan menonton film di laptop sepuasnya. Aku bisa dengan sesuka hari request menu makan pagi, siang, dan malam dengan ibu. Aku juga bisa menghabiskan waktu dengan kucingku yang nakal dan suka kabur dari rumah. Kebayangkan bagaimana serunya.
Siapa sangka itu semua hanya euforia sesaat. Tepat pada hari Senin minggu kedua sekolah mengumumkan adanya sekolah online. ‘Gampanglah kalo cuma online, ngerjain dikit juga kelar.’ Begitu pikirku saat mendengar informasi itu. Oh tapi ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Per-hari kami diberi tugas online sejumlah 5 mapel, bahkan ada beberapa materi yang belum dijelaskan sebelumnya saat disekolah, dan semuanya berupa soal. Belum lagi ditambah orang tuaku yang selalu bertanya, “tugasnya udah dikerjain dek?” atau “Nilai tugas kemarin sudah diumumkan lewat grup? Adek dapet nilai berapa?” atau lagi “Batas pengumpulan tugasnya nanti malam loh dek, kamu kok masih santai-santai?” Semacam itulah yang biasa aku dengarkan saatmendapat tugas. Sebenarnya saat itu aku sedang mengerjakan tugas itu. Jujur yaa, saat ditanya gitu jadi agak malas ngerjain. Tapi aku tetap harusmengerjakan, mengingat nilaiku yang masih belum cukup untuk dituliskan di rapor.
Selesai dengan tugas biasanya aku melanjutkan kegiatanku dengan bermain ponsel. Yaa salah satu bentuk refreshing lah. tapi ada ajaditegur. “Main ponsel terus matanya ngga sakit tuh? Ntar minusnya nambah loh.” Teguran berlapis sindiran itu tak hanya satu dua kali aku dengar terlontar dari kedua orang tuaku yang membuatku risih. Namun, setelah itu aku tersadar kalau ada benarnya juga kata-kata orang tuaku. Aku memang sudah terlalu banyak bermain ponsel. Baiklah, selang beberapa waktu aku lanjutkan untuk mengerjakan tugas dengan santai dan tidak terlalu memikirkannya.
Setelah beberapa minggu kami diberikan soal, tugas mulai berubah bentuknya. Beberapa mapel digabung menjadi satu dan disuruh membuat video yang berkaitan dengan tugas tersebut. Orang tuaku mulai ribut kembali menanyakan tugas ini ke aku. “Tugasnya udah mulai susah dek, kerjain dari sekarang aja.” Kira-kira begitu saran dari ibuku. Seketika aku respon dengan menghela napas panjang, seolah aku memang lebih tahu soal itu. Biasanya aku mengerjakan tugas di sore hari saat ibuku harus mencari nafkah dengan berdagang di Pasar Kotagede. Kan aku jadi tidak malu saat harus merekam video untuk tugas hehe.
Untuk menyelesaikan dan me-ngupload tugas-tugas yang berkapasitas besar ini tentu membutuhkan banyak kuota internet. Tentu terasa berat dong bagi kami pelajar minim uang saku ini. Semakin parah ketika tidak ada berangkat ke sekolah, tidak ada uang saku utuh. Tapi aku bersyukur, Alhamdulillah aku memiliki tetangga yang berbaik hati mengijinkan aku mengaskses jaringan wifi miliknya untuk keperluan sekolah onlineku ini. Wah lumayan dapat kuota gratis, hehe.
Begitu hari-hariku, penuh akan tugas di rumah aja. Ternyata tak seindah yang ku bayangkan. Satu bulan sudah aku tidak berangkat ke sekolah. Aku mulai bosan. Mulai merindukan padatnya aktifitas di sekolahku. Yah ternyata mending sekolah saja daripada harus berdiam diri di rumah bersama banyaknya tugas. Aku pun menjadi mulai malas untuk membuka buku pelajaran.
Tak hanya itu aku juga mulai merindukan keseharian yang nyaman tanpa perlu was-was ketika keluar rumah, bertemu dengan orang. Hari-hari dimana orang tuaku dapat mencari nafkah seperti biasanya, berdagang dengan nyaman dan ramai akan pembeli. Aku tak tega melihat perjuangan orang tuaku yang tetap harus berdagang di tengah pandemi Covid-19 demi menghidupi keluargaku ini. Ada ketakutan bagaimana kalau ibu terpapar virus itu, bagaimana kalo ibu begini, ibu begitu, dan baying-bayang seram lainnya. Sempat aku mencegah ibu untuk tidak berdagang dulu, namun kenyataannya ekonomi keluarga kami saat ini dominan disokong dari hasil jualan ibu. Ayahku seorang penjahit tidak banyak mendapat pesanan di saat kondisi seperti ini. Padahal hasil jual dagangan ibu kadang tidak banyak, jadi kami harus pandai-pandai dalam menghemat.
Nah salah satu perubahan pada diriku setelah sekian alama di rumah aja adalah pipiku yang mirip dengan bantal, karena hanya rebahan terus. Siklus hidupku mungkin hanya tidur-makan-mengerjakan tugas-rebahan-main ponsel-tidur lagi, begitu terus dengan kadang diselingi membantu ibu atau mengurus kucing peliharaanku. Rasanya ingin sekali bepergian keluar tapi ingat untuk selalu #StayatHome (tagar yang ramai digunakan masyarakan di media sosial) membatalkan niatku untuk pergi-pergi juga, apalagi banyak toko yang tutup sih.
Aku tak pernahg bayangkan bahwa “libur panjang” akan selama ini. Bahkan keadaan ini dirasakan sampai di bulan suci ramadhan ini. Buka puasa bersama di masjid atau mushola dan tarawih ditiadakan, bahkan sholat Id berjamaah di lapangan pun dikabarkan akan ditiadakan pula. Yaa, bulan Ramadhan kali ini terasatidak lengkap. Aku rindu lomba-lomba antar Pengajian yang diadakan oleh FOKOPA (Forum Komunikasi Pengajian Anak) di Kotagede. Malam Idul Fitri juga pasti tidak akan meriah, karena lomba takbir keliling yang biasanya selalu ditunggu-tunggu juga ditiadakan. Bulan Ramdhan yang meriah kali ini menjadi berubah, begituflat. Di saat kebosanan mulai menumpuk untung saja sekolah mulai memodifikasi bentuk soal yang kali ini memanfaatkan fasilitas dari google form. Selain itu aku juga mencoba menyibukkan diri dengan membuat digital art untuk membunuh waktu.
Ternyta hal ini tidak hanya aku yang rasakan, aku lihat status teman teman di WhatsApp atau story di Instagram juga merasakan hal yang sama. Adanya pandemi ini membuat semua serba online, mulai dari tugas, ujian kenaikan kelas, berjualan, tetapi juga berbuka puasa, hehe.Teman-temanku juga mengeluhkan Ramadhan kali ini tidak ada ajakan untuk buka bersama di suatu tempat. Maka sebagai gantinya aku dan teman-teman mengadakan buka bersama secara online, memanfaatkan fitur videocall yang ada di aplikasi Whatsapp. Benar saja ini tidak seseru saatbertemu langsung. Selain itu kita juga harus menahan diri untuk tidak pergi mudik agar tidak terkena ataupun malah menyebarkan virus ke orang di kampung halaman.
Terlepas dari itu semua aku bersyukur ada hikmah dari di rumah saja saat masa karantina ini. Asap polusi udara dijalanan menjadi berkurang, mempunyai banyak waktu dengan keluarga, melakukan banyak hal dirumah yang biasanya terhambat padatnya aktifitasku di sekolah, seperti rebahan.Tidak-tidak bukan itu, aku menambah jadwal harianku dengan membaca Al Qur’an dan itu adalah sebuah perubahan yang nyata dari ku yang biasanya malas-malasan. Aku harap kebiasaan itu tidak akan hilang saat keadaan sudah kembali seperti semula.
Demi mengembalikan keadaan seperti semula kita harus menaati peraturan pemerintah untuk tidak keluyuran di luar rumah, kecuali untuk hal yang mendesak dan selalu menerapkan hidup sehat di rumah.Tidak lupa juga untuk mengonsumsi makanan yang bernutrisi dan rajin berolahraga, agar badan menjadi sehat dan virus tidak menghinggapi tubuh kita. Untuk semuanya tetap semangat menghadapi kondisi seperti ini di tengah pandemi, bukan jadi alasan untuk bermalas-malasan tapi sebaliknya ini waktunya kita lakukan hal yang lebih produktif ketika di rumah saja dan jangan lupa jaga kesehatan!
Penulis : Qaidah Miftakhul F (Anggota Tim Jurnalistik Majalah Qolami SMP Muhammadiyah 7 Yogyakarta)
Tulisan ini telah terbit di Brosur Lebaran AMM Kotagede Edisi 1441 H